Sejarah membuktikan korban
mendulang simpati, dan rohaniawan mengatakan bahwa doa orang teraniaya
dikabulkan Tuhan. Nabi Musa berusia 3 bulan terpaksa dibuang di sungai Nil oleh
ibunya karena Firaun memerintahkan semua anak lelaki di linkungan kerajaan Mesir
harus dibunuh. Namun ia justru ditemukan oleh putrid Firaun dan dibesarkan
dilingkungan kerajaan Mesir, sampai akhirnya Nabi Musa yang menghancurkan
kerajaan Firaun. Nelson Mandela yang anti apharteid dan 27 tahun
dipenjara oleh bangsa kulit putih Afrika Selatan merupakan orang kuliit hitam
pertama menjadi presiden Afrika Selatan. Daw Aung San Suu Kyi yang didekam
selama 15 tahun di rumahnya oleh rezim mliter Myanmar, sekarang memiliki
kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi presiden Myamar. Corazon Aquino
menjadi presiden Philipina karena Aquino –suaminya- ditembak mati oleh aparat
dibawah pemerintahan Marcos. Yahudi mendulang simpati dunia ketika Nazi dibawah
Hitler membunuh 6000 orang Yahudi.Palestina mendapat simpati masyarakat dunia,
sebaliknya Israel dikutuk karena Israel membombardir Gaza. Di Indonesia,
Megawati menjadi besar ketika Suharto menzolimi Soekarno. SBY menjadi besar
ketika Taufik Kemas merendahkannya dengan mengatakan “Jenderal
kekanak-kanakan”. Sekarang, Jokowi menjadi presiden ketika ia diposisikan
sebagai orang yang dizolimi alias korban.
Seorang
atau sekelompok orang yang tidak mampu melawan kekuatan yang lebih besar
cenderung menjadi korban, atau membangun opini sebagai korban sehingga
mendulang simpati public lalu menggunakannya sebagai suatu kekuatan untuk
melawan kekuatan yang lebih besar itu. Salah satu cikal bakal berdirinya negara
Israel karena holocaust, padahal pembunuhan 6000 orang Yahudi Eropa oleh
Nazi sampai sekarang masih diragukan sebagai suatu kebenaran. Menurut banyak
negara Muslim seperti Suriah, Iran dan lainnya bahwa peristiwa itu merupakan
kebohongan atau tipuan Yahudi agar mereka diposisikan sebagai korban kezaliman
Hitler untuk mendulang simpati dunia. Bagaimana dengan Jokowi, apakah ia adalah
korban Prabowo Hatta atau diposisikan sebagai korban oleh pendukungnya sendiri?
Pemilu 2014 hanya ada dua
kontestan calon presiden. JIka salah satu capres menyatakan ada yang main
curang, tentu saja pernyataan itu secara jelas dimaksudkan kepada pihak
lawannya. Suasananya lebih seram dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Yang sangat tidak elegan bahkan cenderung norak ketika para mantan jenderal
yang berasal dari satu kesatuan tapi beda pandangan di pemilu ini saling “adu
jotos”. Prabowo “dibantai” dengan cara mengulang kesaksian mereka bahwa ia
sebagai dalang penculikan para aktifis dan peristiwa huru hara tahun 1998.
Opini public tentang Prabowo sebagai pelanggar hak asasi manusia dibangun
kembali demi menjegalnya untuk lolos sebagai presiden, padahal Megawati
pernah mengatakan ketika Prabowo sebagai cawapresnnya di tahun 2004- bahwa
Prabowo tidak bersalah. Seharusnya Bawaslu atau KPU melarang kampanye negatif
itu terhadap Prabowo. Sementara itu, Jokowi diberitakan sebagai keturunan Cina
yang PKI. Sangat disayangkan media jurnalis tidak memainkan perannya sebagai
pilar ke empat demokrasi. Bahkan Metro TV atau TV One terjebak dalam situasi
sulit sehingga mengebiri profesionalismenya dalam arti ketidakberpihakan dalam
pemberitaan tetapi sebaliknya menomorsatukan kepentingan pemiliknya. Mereka
saling mengebiri berita calon presiden yang tidak didukungnya. Pemberitaan Obor
Rakyat yang sangat buruk tentang Jokowi oleh eks wartawan Tempo semakin
memperkeruh suasana lalu berimbas menjadi boomerang terhadap pasangan Prabowo
Hatta. Di dunia maya suasannya lebih seram lagi. Relawan-relawan masing-masing
tanpa tedeng aling-aling saling “baku hatam dan saling membakar”. Maka lahirlah
seorang korban yang bernama Jokowi dalam perang psikologi ini, dan ia mendulang
simpati publik.
Jokowi
sesungguhnya bukan korban, tetapi menggunakan strategi sebagai korban untuk
membangun opini publik. Jokowi sesungguhnya besar dan memiliki dukungan yang
sangat kuat. Hal itu dapat dipelajari dari pernyataannya bahwa ia ingin
koalisi ramping dan tidak menjanjikan kursi kepada partai koalisinya. Selain
dari itu ada sinyal khusus bahwa negara asing turut campur mendukungnya dalam
pemilihan ini dengan memaknai tulisan Allan Nairm yang mendiskriditkan Prabowo.
Sebelumnya pada bulan april 2014 ada kunjungan pribadi Mahatir Muhamad kepada
Megawati, meskipun belum diketahui maksud dari kunjungan tersebut. Pada bulan
yang sama, ada pertemuan antara Megawati dan Jokowi dengan kedubes Amerika,
Vatikan, Myanmar, RRC, Turki, dan Peru di rumah Jacob Soetojo di Permata
Hijau, Jakarta Selatan.
Sangat
jelas skenario penokohan Jokowi yang berwajah “seadanya” sebagai orang kecil
yang mau merasakan penderitaan dan memperhatikan kepentingan orang kecil.
Jokowi mendekati publiknya dengan bersepeda, bahkan datang ke KPU naik bajay.
Orang lain boleh mengatakan bahwa Jokowi telah membohongi publiknya sendiri
tentang ia sebagai orang kecil sebab faktanya ia melaporan harta kekayaannya ke
KPU terbilang Rp 29 milliar dan $27.633. Bagi orang kecil alias tidak mampu, uang
sejumlah itu sangatlah besar, tetapi demikianlah strategi promosi yang
dipilihnya untuk membangun citra dirinya. Orang kecil dari partai wong cilik.
Aziz Taufiq -penulis lepas.
26 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Your comment