Sabtu, 24 Januari 2015

Strategi Jokowi

Sejarah membuktikan korban mendulang simpati, dan rohaniawan mengatakan bahwa doa orang teraniaya dikabulkan Tuhan. Nabi Musa berusia 3 bulan terpaksa dibuang di sungai Nil oleh ibunya karena Firaun memerintahkan semua anak lelaki di linkungan kerajaan Mesir harus dibunuh. Namun ia justru ditemukan oleh putrid Firaun dan dibesarkan dilingkungan kerajaan Mesir, sampai akhirnya Nabi Musa yang menghancurkan kerajaan Firaun.  Nelson Mandela yang anti apharteid dan 27 tahun dipenjara oleh bangsa kulit putih Afrika Selatan merupakan orang kuliit hitam pertama menjadi presiden Afrika Selatan. Daw Aung San Suu Kyi yang didekam selama 15 tahun di rumahnya oleh rezim mliter Myanmar, sekarang memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi presiden Myamar.  Corazon Aquino menjadi presiden Philipina karena Aquino –suaminya- ditembak mati oleh aparat dibawah pemerintahan Marcos. Yahudi mendulang simpati dunia ketika Nazi dibawah Hitler membunuh 6000 orang Yahudi.Palestina mendapat simpati masyarakat dunia, sebaliknya Israel dikutuk  karena Israel membombardir Gaza. Di Indonesia, Megawati menjadi besar ketika Suharto menzolimi Soekarno. SBY menjadi besar ketika Taufik Kemas merendahkannya dengan mengatakan “Jenderal kekanak-kanakan”. Sekarang, Jokowi menjadi presiden ketika ia diposisikan sebagai orang yang dizolimi alias korban.
                Seorang atau sekelompok orang yang tidak mampu melawan kekuatan yang lebih besar cenderung menjadi korban, atau membangun opini sebagai korban sehingga mendulang simpati public lalu menggunakannya sebagai suatu kekuatan untuk melawan kekuatan yang lebih besar itu. Salah satu cikal bakal berdirinya negara Israel karena holocaust, padahal  pembunuhan 6000 orang Yahudi Eropa oleh Nazi sampai sekarang masih diragukan sebagai suatu kebenaran. Menurut banyak negara Muslim seperti Suriah, Iran dan lainnya bahwa peristiwa itu merupakan kebohongan atau tipuan Yahudi agar mereka diposisikan sebagai korban kezaliman Hitler untuk mendulang simpati dunia. Bagaimana dengan Jokowi, apakah ia adalah korban Prabowo Hatta atau diposisikan sebagai korban oleh pendukungnya sendiri?
 Pemilu 2014 hanya ada dua kontestan calon presiden. JIka salah satu capres menyatakan ada yang main curang, tentu saja pernyataan itu secara jelas dimaksudkan kepada pihak lawannya. Suasananya lebih seram dibandingkan  dengan pemilu sebelumnya. Yang sangat tidak elegan bahkan cenderung norak ketika para mantan jenderal yang berasal dari satu kesatuan tapi beda pandangan di pemilu ini saling “adu jotos”. Prabowo “dibantai” dengan cara mengulang kesaksian mereka bahwa ia sebagai dalang penculikan para aktifis dan peristiwa huru hara tahun 1998. Opini public tentang Prabowo sebagai pelanggar hak asasi manusia dibangun kembali demi menjegalnya untuk lolos sebagai presiden, padahal  Megawati pernah mengatakan ketika Prabowo sebagai cawapresnnya di tahun 2004- bahwa Prabowo tidak bersalah. Seharusnya Bawaslu atau KPU melarang kampanye negatif itu terhadap Prabowo. Sementara itu, Jokowi diberitakan sebagai keturunan Cina yang PKI. Sangat disayangkan media jurnalis tidak memainkan perannya sebagai pilar ke empat demokrasi. Bahkan Metro TV atau TV One terjebak dalam situasi sulit sehingga mengebiri profesionalismenya dalam arti ketidakberpihakan dalam pemberitaan tetapi sebaliknya menomorsatukan kepentingan pemiliknya. Mereka saling mengebiri berita calon presiden yang tidak didukungnya. Pemberitaan Obor Rakyat yang sangat buruk tentang Jokowi oleh eks wartawan Tempo semakin memperkeruh suasana lalu berimbas menjadi boomerang terhadap pasangan Prabowo Hatta. Di dunia maya suasannya lebih seram lagi. Relawan-relawan masing-masing tanpa tedeng aling-aling saling “baku hatam dan saling membakar”. Maka lahirlah seorang korban yang bernama Jokowi dalam perang psikologi ini, dan ia mendulang simpati publik.   
                Jokowi sesungguhnya bukan korban, tetapi menggunakan strategi sebagai korban untuk membangun opini publik. Jokowi sesungguhnya besar dan memiliki dukungan yang sangat kuat.  Hal itu dapat dipelajari dari pernyataannya bahwa ia ingin koalisi ramping dan tidak menjanjikan kursi kepada partai koalisinya. Selain dari itu ada sinyal khusus bahwa negara asing turut campur mendukungnya dalam pemilihan ini dengan memaknai tulisan Allan Nairm yang mendiskriditkan Prabowo. Sebelumnya pada bulan april 2014 ada kunjungan pribadi Mahatir Muhamad kepada Megawati, meskipun belum diketahui maksud dari kunjungan tersebut. Pada bulan yang sama, ada pertemuan antara Megawati dan Jokowi dengan kedubes Amerika, Vatikan, Myanmar, RRC, Turki, dan Peru  di rumah Jacob Soetojo di Permata Hijau, Jakarta Selatan.
                Sangat jelas skenario penokohan Jokowi yang berwajah “seadanya” sebagai orang kecil yang mau merasakan penderitaan dan memperhatikan kepentingan orang kecil. Jokowi mendekati publiknya dengan bersepeda, bahkan datang ke KPU naik bajay. Orang lain boleh mengatakan bahwa Jokowi telah membohongi publiknya sendiri tentang ia sebagai orang kecil sebab faktanya ia melaporan harta kekayaannya ke KPU terbilang Rp 29 milliar dan $27.633. Bagi orang kecil alias tidak mampu, uang sejumlah itu sangatlah besar, tetapi demikianlah strategi promosi yang dipilihnya untuk membangun citra dirinya. Orang kecil dari partai wong cilik.


Aziz Taufiq -penulis lepas.
26 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your comment