Kita sebagai rakyat sering terjebak dalam istilah “Tak
ada rotan akar pun jadi” atau istilah lainnya, “ Ia adalah pilihan buruk
daripada pilihan-pilihan paling buruk”. Ditambah lagi oleh “gorengan” media dalam
menciptakan opini publik sehingga tembaga tampil seperti emas. Sementara itu,
adakah jabatan yang lebih tinggi dan penting
di suatu negara selain presiden yang dengan mudah ditolak seseorang?
Demikianlah beberapa faktor dari banyak faktor lainnya sehingga Jokowi menjadi
presiden.
Nah, kondisi Indonesia “galau” ini diterus tandai dengan
demo-demo mahasiswa di beberapa kota besar yang sering menjadi pemicu demo
rakyat. Tuntutan mereka pun kurang lebih sama dengan demo-demo besar yakni
turunkan harga, berantas korupsi dan seterusnya. Kita tentu saja berharap huru-hara tidak terjadi lagi
seperti tahun 1998 yang mana bentrokan antara pemerintah dengan bala tentaranya
berhadapan langsung dengan rakyat, lalu berujung kepada penggantian suatu
pemerintahan.
Kita boleh mencari jawaban siapa yang salah atau yang
paling bersalah sehubungan dengan kondisi Indonesia “galau” ini. Jawaban kita boleh berdasarkan
nilai etika, profesionalisme, politik
atau apa saja. Tetapi terlepas dari siapa yang bersalah, pertanyaan
lain yang perlu dijawab lebih dahulu adalah siapa yang diuntungkan dari kondisi
Indonesia yang sedang “sempoyongan” ini, apalagi jika kondisi perpecahan di negara-negara
Timur Tengah berpindah ke Indonesia.
Perlu diingat, kita memiliki banyak sumber yang mana
negara lain tidak memilikinya.Oleh sebab itu, kelak, marilah kita memilih pemimpin yang
benar-benar negarawan yang berkualitas!
Aziz Taufiq, 21 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Your comment